Merosot atau Meningkatkah Pendidikan Formal di Indonesia?

Pendidikan formal sangat penting untuk kemajuan dari sebuah bangsa, dari pendidikanlah peradaban manusia bertambah maju dan dari pendidikan pulalah kemampuan otak berlogika dan berbahasa menjadi lebih baik. Namun itu semua kembali tergantung kepada individu masing-masing, apakah kemampuannya untuk hal-hal positif ataupun untuk hal-hal sebaliknya.

Tinjauan mengenai pendidikan di Indonesia, menurut saya (sekali lagi bukan untuk menyalahkan, menggurui ataupun merasa lebih benar) selama ini mengalami peningkatan yang sangat pesat dilihat dari sudut pandang kemampuan otak/intelektual tetapi mengalami penurunan dalam kemampuan mentalitas (banyak orang-orang pandai di negara kita ini yang memiliki jabatan yang tinggi di Negara maupun Swasta, banyak orang sukses, banyak orang-orang yang cerdas berlogika maupun cerdas linguistik, namun entah kenapa nasib rakyat khususnya para pelajar kurang memperoleh sentuhan yang ‘pas’, apakah mereka lupa bahwa mereka sebelumnya juga pelajar?).

Pendidikan Meningkat Atau Turun?

Pendidikan bukan semata untuk pola berpikir tetapi juga untuk membangun kharakteristik mental manusia sehingga diharapakan masa depan pembangunan bangsa bukan saja diisi oleh manusia-manusia cerdas berpikir tetapi rapuh mentalnya melainkan diisi manusia-manusia yang cerdas dengan mental yang kuat.....amin.

Saya mencoba mengupas secara garis besar sisi-sisi peningkatan maupun penurunan yang terjadi di dunia pendidikan formal di negara yang tercinta ini untuk SD, SMP maupun SMA sederajat) beserta dampak-dampaknya. Perlu diingat disini peningkatan kualitas pendidikan belum tentu berdampak positif, apalagi penurunan, tentunya banyak dampak negatifnya.

Hampir setiap kurang lebih 5 tahun selalu diadakan penyempurnaan pola pembelajaran lewat kurikulum yang diterbitkan oleh pihak Departemen Pendidikan dan sejawatnya. Dimana terus menerus diadakan perombakan dan peningkatan kualitas baik bidang eksakta (antara lain membidangi : matematika, biologi, fisika, kimia) maupun non eksakta (antara lain membidangi : sejarah, geografi, ekonomi). 

Menurut saya pribadi, benar-benar peningkatan yang drastis bila dibandingkan kurikulum sebelumnya. Pelajar ‘dipaksa’ untuk terus melahap semua aspek ilmu setiap harinya dengan jam sekolah yang cukup panjang di mulai jam 07.00 pagi sampai dengan jam 14.00 siang. Disamping itu banyak pula dari pihak guru/pengajar memberikan tugas berupa Pekerjaan Rumah (PR) untuk menambahan penguasaan materi. Itupun belum cukup dimana untuk mengejar dan menguasai materi di sekolahan, banyak pelajar dimana orang tuanya menambah jam belajar dengan les privat maupuin lewat lembaga-lembaga pendidikan non sekolah. Jadi, bayangkan saja mungkin waktu seharian dari pagi sampai sore, seorang pelajar waktunya diisi hanya untuk belajar dan belajar. 

Bahkan tanpa kita sadari bila kita pas lewat di jalan raya di waktu jam masuk sekolah ataupun siang hari jam pulang sekolah, sering kita lihat banyak pelajar membawa tas punggung dengan isi yang penuh dan tangan menenteng pula buku-buku atau lembar tugas berjalan dengan terbungkuk-bungkuk (maaf-apa tidak terpikir bila pelajar Sekolah Dasar dimana tulang punggung masih dalam pertumbuhan dan pembentukan bila tanpa sadar dia membawa beban yang ‘over load’ dipunggungnnya bisa membuat tulang bahu miring atau juga tulang punggung miring/tidak lempeng, juga bisa mempeengaruhi pertumbuhan dari pelajar tersebut?)

Seacara garis besar memang sangat baik di usia muda, waktu kita habiskan untuk belajar tetapi apakah hidup ini hanya dipenuhi oleh aspek belajar saja? Maaf bisa jadi seorangpelajar menjadi cerdas tetapi dalam besikap dia menjadi kurang pergaulan (kuper), kurang adaptif dalam pergaulan sosial dan kecenderungan pembentukan pola ‘egosentris’ di dalam dirinya.

Bagaimana untuk menyikapi hal tersebut? Memang bila lingkungan keluarga dari si pelajar dapat mengantisipasi dengan baik misal : dengan memberikan waktu untuk olah raga (les renang, badminton, sepak bola, dan lain-lain), pola makan dengan gizi berimbang, pengarahan-pengarahn dalam segi kehidupan, pemberian kesempatan untuk aktif di agama maupun sosial, dan lain-lain. Tapi, apakah itu mungkin? Dengan kondisi yang hidup semakin susah, orang tua bekerja untuk mengejar penghasilan dengan bekerja, dan lain-lain. 

Ini perlu pertimbangan dan pengkajian lebih lanjut dari segmen-segmen yang terlibat di dalamnya yaitu Pemerintah (pemegang deregulasi/peraturan), Sekolah (Kepala Sekolah dan segenap tim pengajarnya) maupun pelajar (dimana pihak pelajar diwajkili oleh pelajar itu sendiri dan orang tua/wali muridnya). Memang sepintas terlihat sangat mudah dan bijaksana namun dalam pelaksanaan dibutuhkan waktu dan komitmen kita semua.

Untuk pihak Pemerindah khususnya Departemen Pendidikan, kenapa peningkatan kualitas hanya dtekankan pada materi pelajaran? Terus Terang ada 6 hal penting (walaupun kelihatannya sepele) hilang dalam rutinitas proses pembelajaran, yaitu :

1. Upacara Bendera Pagi setiap hari Senin.


Pernahkah kita sadari Upacara Bendera Pagi punya banyak manfaat untuk pengembangan pribadi diri pelajar?, antara lain :

  • Daya tahan untuk berdiri sekian menit dan menghirup udara pagi yang tentunya lebih segar daripada udara siang maupun konsentrasi ‘diam’ dan melatih sebagai pendengar yang baik.
  • Disiplin dalam berdiri dan berbaris ini secara tidak langsung mendidik diri pelajar untuk berlaku disiplin. 
  • Belajar mengakui dan menghargai hasil karya dari para pejuang maupun pahlawan sehingga kita lebih cinta terhadap tanah air kita dan enggan untuk mencederai negara ini.
  • Belajar dan mau bertindak yang baik dan benar seperti mau mendoakan pihak-pihak yang mendahului kita semua demi negara, mendengarkan wejangan-wejangan dan tentunya melaksanakan dari Pembina upacara.
  • Hafal menyanyikan lagu kebangsaan dan lagu-lagu wajib negara kita tercinta ini. Perlu kita sadari ini pelatihan untuk membina jiwa yang ‘heroik’, bangga ini bangsaku bangsa Indonesia.


2. Pelajaran yang mengkhususkan pemahaman Dasar Negara kita Pancasila yaitu Pendidikan Moral Pancasila beserta perluasannya yaitu Penataran Pedoman, Penghayatan  dan Pengamalan Pancasila (P4).


Saya merasa sedikit kurang sreg bila pembelajaran mengenai Pancasila secara khusus kok nyaris hilang di dunia pendidikan formal kita. Kita seharusnya tahu dan sadar bahwa Pancasila adalah Dasar Negara kita itu merupakan hal yang terpenting dalam pembentukan peandangan dan perilaku kita sebagai Bangsa Indonesia. Dasar adalah landasan utama artinya apapun bila dasarnya kurang kokoh bagaimana menghasilkan sesuatu yang kokoh?. Janganlah kita munafik, kita tau kok Pancasila, kita hapal pula pasal-pasal dari Pancasila (memang sih cuma ada 5 saja sangatlah mudah untuk dihapal). Tetapi kita pernah mendengar/melihat dari media berita bila calon anggota wakil rakyat kok lupa atau salah atau kurang lengkap dalam pengucapan dari sila-sila Pancasila. Sebuah adegan yang membuat miris di hati sekaligus lucu dan bahan cemoohan, calon wakil rakyat kok blebotan dalam pengucapan sila dari Pancasila, itu baru pengucapannya bagaimana perilakunya? Apakah sanggup mencerminkan dari Pancasila?.

Kenapa dihapuskan program Penatran P4? Dimana waktu yang lalu penataran itu dibagi menjadi pola 10 jam, 25 jam bahkan 100 jam. Pelaksanaan rutin bahkan diwajibkan bukan saja untuk pelajar tapi juga sebagai syarat untuk melamar kerja maupun sebagai salah satu syarat dalam mengajukan Surat Kelakuan Baik dari pihak Kepolisian. Apakah dianggap cuma buang-buang waktu saja? Oh gampang sih tinggal baca saja? Perlu diingatkan sekali lagi untuk hasil membangun yang kokoh pasti diawali dengan pembuatan/pembentukan landasan/dasar yang kokoh terlebih dahulu.


3. Senam Pagi Indonesia, kita kenal dengan Senam Kesahatan Jasmani (SKJ) yang biasa dilakukan pada hari Jum’at pagi


Senam, jenis olahraga dengan gerakan sederhana dan melatih persendian maupun otot agar tidak kaku tetapi boleh dibilang hampir punah dari kurikulum Indonesia. Memang ada alasan yang kuat, ada mata pelajaran Olahraga dan ekstra kurikuler dengan berbagai jenis olahraga tetapi perlu kita sadari pelajaran olahraga biasanya hanya berisi teori-teori saja dan bila praktekpun pelaksanaannya hanya ‘sekedarnya’ sedangkan ekstra kurikuler merupakan kegiatan di luar jam pelajaran dan inipun bersifat pilihan (jadi bukan olahraga saja tetapi ada pilihan lain seperti kesenian, bahasa, dan lain-lain)

4. Pramuka


Masa lalu sampai era 90 an, Pramuka termasuk pelajaran wajib yang biasanya kegiatan itu dilakukan di hari jum’at di sore hari. Bahkan biasanya pada hari jum’at dan atau Sabtu seragam sekolah diwajibkan memakai seragam pramuka. Sedangkan sekarang pramuka dimasukan ke ektra kurikuler dan tidak wajib. Jelas disini pembinaan mental pelajar merosot karena materi pramuka yang mengandung nilai-nilai positif kehidupan terkikis tanpa disadari dimana di pramuka secara garis besar mengajarkan kita terampil (membuat tali simpul, membuat tenda), mandiri (berkemah jauh dari orang tua/ bagaimana mengurus diri sendiri), suka menolong, gotong royong dan kekeluargaan (misal : di bumi perkemahan kita membuat apai unggun bersama, kegiatan-kegiatan sosial seperti kerja bakt dan lain-lain).

5. Menyanyikan Lagu-lagu Wajib.


Kita pernah bahkan sering mendengar pelajar (terutama yang baru setingkat SD maupun SMP menyanyi lagu-lagu, entah lagu apa itu mungkin pop, dangdut koplo bahkan lagu berirama ‘house music’. Sadarkah kita semuanya bila jiwa dari anak-anak tersebut sudah termasuki pembelajaran yang kurang tepat (biasanya syair di dalam lagu yang dinyanyikan urusan cinta terlarang, janda, dunia gemerlap dan lain-lain). Mereka hapal keseluruhan lagu tersebut bahkan hapal pula siapa yang menyanyikannya, tetapi hati ini menjadi sedih bila kita melihat seorang pelajar disuruh menyanyikan salah satu lagu wajib, dia belepotan dalam nada maupun syair, apalagi kalau ditanya siapakah pencipta/penulis lagu tersebut? Jawabannya hampir pasti tidak tahu.

Padahal di dalam lagu wajib itu ada yang mengandung jiwa ‘heroik’/kepatriotan, indahnya negara kita, beraneka ragam budaya, bahkan ajakan untuk mencintai negeri yang tercinta ini.

6. Peribahasa dan pantun


Saya tidak tahu, entah kenapa peribahasa dan pantun hampir hilang dari kurikulum pendidikan kita di bidang Bahasa Indonesia? Seyogyanya peribahasa dan pantun mengandung ujar-ujar yang positif sehingga secara tidak langsung pelajar-pelajar memperoleh pembelajaran jiwa/mental/perilakunya.

Era 90 an kebawah hampir semua pelajar diwajibkan hapal berbagai macam peribahasa dan pantun bahkan kadangkala diharuskan membuat sendiri peribahasa dan pantun  tersebut beserta artinya. Sepelekah? Menurut saya dengan pendidikan peribahasa dan pantun, percaya atau tidak hal ini dapat meningkatkan jiwa ‘seni/sastra’ seseorang dimana diharapkan minimal pencerminan perilaku tidak kasar, tidak suka memaki maupun sopan santun (kilas balik jaman dulu jaman kerajaan dimana seseorang yang dianggap ‘terhormat’ kedudukannya di kalangan kerajaan itu dan mengenal sopan santun dalam tutur kata dan perilaku bila dia memiliki ilmu sastra yang tinggi).

Saya secara pribadi menulis ini untuk mengingatkan kepada pembaca bawa kecerdasan intelektual dan berbahasa harus dibarengi dengan pembentukan mental yang sehat. Mari kita bersama-sama untuk mengawali hal kecil di dalam rumah/keluarga kita untuk mengingatkan adik-adik kita bahwa yuk kita bentuk jiwa yang sehat agar kelak mereka dewasa akan menjadi lebih baik dibandingkan generasi sebelumnya.

Terus terang dalam sanubari saya memiliki keinginan yang besar agar bangsa kita yang tercinta ini bukan saja sebagai bangsa yang cerdas dalam pemikiran maupun kata-kata melainkan juga menjadi bangsa yang kokoh mentalitasnya. Tetapi mungkin saat ini hanyalah sebuah impian, bagaikan pepatah ‘Maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai’.

Penulisan ini jauh dari sempurna, jauh dari pemikiran orang-orang ‘tinggi’ dan cerdas, saya sadar saya hanyalah seorang rakyat dengan pendidikan yang pas-pasan tetapi saya masih punya sedikit keberanian untuk mengulas kelebihan dan kekurangan di dunia pendidikan formal kita. Sekali lagi saya mohon maaf sebesar-besarnya bila ada salah interprestasi, bukan untuk menggurui, bukan untuk menyudutkan,,,semua hanya untuk kita sadari masing-masing. Hiduplah Indonesiaku Hiduplah Bangsaku, disinilah aku berdiri disini pula ku mengabdi....terima kasih
Dwinandha Legawa
Dwinandha Legawa Author blog yang lagi sibuk berkelana. Temukan saya di LinkedIn:

1 comment for "Merosot atau Meningkatkah Pendidikan Formal di Indonesia? "

  1. menurut saya 70% merosot, pelajar dan pengajar seharusnya bisa saling bekerja sama. Pelajar ya harus pandai belajar, bukan pandai mengeluh. Pengajar harus memberikan materi yang sempurna, bukan malah mengajari bagaimana cara menjadi karyawan setelah lulus sekolah -_-

    ReplyDelete

No spam please! Be a good netizen. Komentar dengan link aktif akan dihapus oleh admin blog.